Saatnya
untuk menikah, kata-kata itulah yang seringkali terngiang-ngiang selalu di
pikiran para remaja, memenuhi relung hati mereka, dan merasuki berbagai macam kegiatan yang mereka lakukan.
Menikah,
sebuah fitrah yang memang Allah ciptakan untuk menjadikan ketenangan bagi
manusia. Ialah yang merupakan sebuah labuhan hati untuk jiwa-jiwa yang rindu
akan kesucian cinta dan hakikinya hubungan manusia dengan Tuhannya. Menikah
bukan hanya sekedar pemenuhan hawa nafsu atau keinginan untuk bersama antara dua
insan saja, tapi lebih kepada sebuah jalan bagi para pembangun peradaban.
Pernikahanlah yang menjadi sebuah titik tolak awal kebangkitan umat. Pernikahan
yang baik dan suci serta pendidikan keluarga yang tarbawi-lah yang menjadi
momentum yang akan membawa energi perubahan di masa mendatang.
Menikah
bukanlah hal yang sederhana namun pula tak pantas untuk membuatnya menjadi
kompleks yang akhirnya menghilangkan makna keindahannya. Menikah akan
mempertemukan dua manusia yang memiliki karakteristik jiwa yang berbeda satu
sama lainnya namun memiliki ketertarikan yang tak mampu dijelaskan dengan
kata-kata biasa, sekalipun oleh para pujangga. Ia seolah seperti sebuah energi
yang tersimpan kuat di dalam dada setiap manusia, terkadang tenang, terkadang
bergolak, dan akhirnya ingin bertemu pada muara yang sama.
Sebuah
jiwa yang telah resah di hari-harinya seolah seluruh dunianya telah berubah
karena ia seperti kehilangan separuh hatinya. Sebenarnya bukan kehilangan
tepatnya, namun ia hanya belum menemukan. Puisi-puisi, syair-syair, bahkan
nasihat dari para bijak bestari pun tak lagi memiliki arti bagi para jiwa yang
sudah tak kuasa ‘tuk segera menggenapkan diri.
“Lalu,
apa? Apa yang sebaiknya aku lakukan?”
Rasulullah
saw pernah bersabda, “Tak ada yang bisa dilihat lebih indah dari orang-orang
yang SALING MENCINTAI seperti halnya PERNIKAHAN” (HR. Al Hakim).
Cinta
antara dua manusia, antara dua jiwa yang berbeda namun entah mengapa tiba-tiba
mereka memiliki frekuensi yang sama, harus bermuara dalam pernikahan. Tidak bisa
tidak, tak ada lagi tawaran lain selain pernikahan. Hubungan-hubungan palsu
duniawi yang lemah tidak akan pernah mampu menggantikan ajeg dan kokohnya tali
cinta dalam pernikahan.
Sekali
lagi, mari ingatlah, pernikahan bukanlah hal yang mudah namun tidak pantas pula
untuk mempersulitnya. Banyak yang ragu dan enggan untuk memulai. Bisa
disebabkan karena kondisi keuangan, kondisi pribadi, hingga kondisi keluarga.
Seorang pemuda yang telah jatuh hati pada wanita idamannya hanya akan memiliki
dua pilihan, meminang wanita itu hingga akhirnya menikah, atau izinkan
laki-laki shalih lainnya untuk meminangnya. Dia tak bisa memberikan janji-janji
pemenuh kebutaan syahwat yang pada akhirnya hanya akan menyakiti kedua belah
pihak, entah akhirnya mereka benar-benar menikah atau tidak.
Setelah
meminang, hanya akan keluar dua kalimat indah yang telah diajarkan oleh manusia
paling mulia, Rasulullah saw. Katakan, “Alhamdulillah” jika engkau diterima,
dan gelorakan, “Allahu Akbar” jika pinanganmu ditolaknya, sederhana. Sederhana
pada pelaksanaannya namun hati, hati adalah rongga yang begitu dalam dan
memiliki detak dan debar yang tidak sederhana. Maka di sinilah diuji keimanan
manusia, apakah ia ridha dengan keputusan Tuhannya, Tuhan yang telah membuat ia
dari saat sebelumnya ia bukan apa-apa, Tuhan yang telah memberikan nikmat yang
sama sekali tidak mampu terhitung jumlahnya, dan tentu saja Tuhan yang telah
menyematkan cinta yang begitu indah di dalam hatinya, atau ia merasa kecewa,
tidak ikhlas, hingga akhirnya gerutu dan umpatan keluar dari lidah dan
lisannya.
Sungguh
kawan, cinta dua insan tidaklah mampu disembunyikan. Layaknya Abdullah bin Abu
Bakar dan istrinya Atikah. Kenikmatan dan indahnya cinta yang akhirnya mereka
rasakan dalam pernikahan membuat Abdullah lalai akan mengingat Tuhannya, bahkan
hingga syuruq pun belum terlihat batang hidungnya di antara para jamaah shalat
subuh. Maka, Abu Bakar, ayahnya, meminta untuk menceraikan istrinya. Perasaan
apa yang ada di hatinya? Wanita yang begitu ia cintai, yang akhirnya ia
dapatkan dengan cara halal dan suci harus ia lepaskan begitu saja! Siapa?!
Siapa?! Siapa yang tidak akan menangis begitu dalam ketika harus menerima
kenyataan ini. Siapa yang tidak akan menggubah syair yang memilukan jika harus
menghadapi ini? Tetapi, perintah orang tua-lah yang ia utamakan, karena ia tahu
ridha Allah berada pada ridha orang tua dan murka Allah berada pada murka orang
tua.
Hari-hari
kedua insan itu hanya dilalui seolah dua orang pesakitan yang tidak lagi
memiliki harapan hidup, karena sebagian jiwa mereka hilang dan tidak mampu
tergantikan kecuali kembali digenapkan. Akhirnya, Allah mengizinkan untuk
mereka berkumpul kembali dalam siraman ridha Illahi.
Kawan,
pernikahan membutuhkan persiapan. Ada
dua hal mendasar yang memiliki batas yang hampir-hampir saling bersinggungan
satu dengan yang lainnya, yaitu antara menyegerakan dan tergesa-gesa.
Rasulullah saw bersabda, “Wahai
sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu ba`ah, maka hendaklah ia menikah, karena
pernikahan lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan farji…“(HR.
Bukhari dan Muslim).
Apakah
itu ba’ah wahai saudaraku? Ibnu Qayyim al-Jauziy berkata bahwa ba’ah adalah
kemampuan biologis untuk berjima’. Namun, beberapa ulama ada yang menambahkan
bahwa ba’ah adalah mahar (mas kawin), nafkah, juga penyediaan tempat
tinggal. Kita tak mampu menutup mata dari berbagai kebutuhan yang harus
terpenuhi ketika dua insan telah menyatu di dalam pernikahan.
Ada beberapa
hal penting yang harus dipersiapkan menuju pernikahan. Sebuah bekal yang akan
mempermudah dua insan untuk berjalan di jalur yang sama dalam pernikahan.
1.
Persiapan ruhiyah
Saat
pernikahan hanyalah memiliki satu niat, untuk semakin mendekatkan diri pada
Tuhannya, sehingga Allah akan berkenan untuk meridhainya. Niat paling murni dan
penuh keikhlasan dari seorang hamba. Dengan niat yang lurus ini seseorang akan
yakin dan percaya bahwa Allah hanya akan memberikan yang terbaik untuknya, yang
terbaik, yang terbaik, sekali lagi, yang terbaik. Tidak ada pilihan lainnya.
Tentu saja hal ini tidak akan datang begitu saja, melainkan melalui proses
perbaikan diri, perbaikan kualitas ibadah, dan pemurnian hati.
2.
Persiapan ilmu
Saat dua
paradigma berpikir disatukan, maka ia akan menemui benturan dan adu argumen antara
keduanya. Persiapan ilmu dibutuhkan untuk mempersiapkan dan menyelaraskan
perbedaan pandangan yang akan ditemukan ketika dua insan telah berada pada
bahtera yang sama. Tanpa persiapan ilmu yang cukup, yang ada hanya pertengkaran
dan tidak adanya pengertian antara yang satu dengan yang lainnya.
3.
Persiapan fisik
Adalah
cinta membutuhkan energi untuk hidup dan tetap menyala, maka seperti itulah
yang dibutuhkan dalam kehidupan rumah tangga. Adalah bodoh ketika seorang suami
hanya memberikan cinta tanpa menafkahi istri dan anak-anaknya. Cinta bukanlah
khayalan dan fatamorgana, namun cinta adalah kenyataan yang dihadapi di depan
mata. Fisik keduanya harus kuat, baik untuk membangun cinta juga untuk
membangun keluarga. Hingga akhirnya cinta akan tetap hidup dalam bahtera
keduanya.
4.
Mengenal calon pasangan
Kenali ia
dengan bertanya kepada keluarga atau orang yang shalih dan dapat dipercaya.
Berjalan dengan mata tertutup adalah kebodohan yang nyata yang akan membawa
mudharat baginya. Maka, lihat dan kenalilah calon pasanganmu dan berdoalah agar
Allah memberikan yang terbaik untukmu. Satu hal yang perlu diingat kawan!
Mengenal pasangan bukanlah dengan engkau berjalan berdua dengannya memadu cinta
kasih yang sama sekali Allah haramkan hubungannya. Sama sekali tidak! Dengan
itu kau hanya belajar menjadi kekasih yang baik, bukan istri/suami yang baik.
Percayalah, pernikahan tak sama dengan hubungan semu yang sedang kau jalin
bersamanya. Saat kau menikah tetap akan ada hal-hal baru yang sama sekali tidak
kau ketahui dan itu jauh berbeda. Jika hasilnya sama, mengapa memilih jalan
yang penuh duri dan sama sekali tidak mengandung ridha-Nya?
5.
Lurusnya niat
Meskipun
telah disinggung pada poin pertama, namun lurusnya niat bukanlah hal mudah
untuk dilakukan. Ia harus terhindar dari riya’ dan sum’ah, dari dengki dan iri,
dan dari berbagai sifat yang merusak hati serta merusak hubungan dengan
Tuhannya. Karena segala sesuatu berawal dan berakhir dari niatnya.
Cinta
bukanlah satu hal pasif yang tidak membutuhkan energi dan pengorbanan untuk
meraihnya namun ia adalah energi yang membutuhkan kerja keras dan berbagai
pengorbanan, membutuhkan keikhlasan dan jernihnya hati, dan membutuhkan
penyerahan diri pada pemilik cinta yang hakiki.
Biarlah
cintamu tumbuh berkembang, akarnya menghujam bumi, daunnya berdesir mengikuti
alunan angin, dan buahnya manis, serta bunganya indah merona, karena kau
serahkan segalanya kepada Allah, Tuhan yang menciptakan cinta itu sendiri.
0 Comments