Oleh Abu Ismail
Alhamdulillah Puji puja dan sukurku tak henti-hentinya kepada pemilik
alam semesta ini, pengatur hidup makhluk ini, pengasih dan penyayang
setiap makhluknya, maha adil, maha bijaksana, maha pengampun hambanya
yang kembali kepadanya. Sholawat dan Salam Allah, Malaikat dan semua
makhluk, tetap tercurah tanpa henti-hentinya kepada makhluk yang paling
mulia, kekasih raja alam, pemimpin manusia, Nabi muhammad SAW, beserta
keluarga, para sohabat, tabi’in, tabi’u tabi’in, dan semua yang
mengikuti mereka hingga Akhir alam ini.Allah
Ta’ala berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertaqwa. (Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di
antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu)
memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa
lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui “(Al-Baqarah: 183-184)Allah
berfirman yang ditujukan kepada orang-orang beriman dari umat ini,
seraya menyuruh mereka agar berpuasa. Yaitu menahan dari makan, minum
dan bersenggama dengan niat ikhlas karena Allah Ta’ala. Karena di
dalamnya terdapat penyucian dan pembersihan jiwa, juga menjernihkannya
dari pikiran-pikiran yang buruk dan akhlak yang rendah.
Allah menyebutkan, di samping mewajibkan atas umat ini, hai yang sama
juga telah diwajibkan atas orang-orang terdahulu sebelum mereka. Dari
sanalah mereka mendapat teladan. Maka, hendaknya mereka berusaha
menjalankan kewajiban ini secara lebih sempurna dibanding dengan apa
yang telah mereka kerjakan. (Tafsir Ibnu Katsir, 11313.)
Lalu, Dia memberikan alasan diwajibkannya puasa tersebut dengan
menjelaskan manfaatnya yang besar dan hikmahnya yang tinggi. Yaitu agar
orang yang berpuasa mempersiapkan diri untuk bertaqwa kepada Allah,
Yakni dengan meninggalkan nafsu dan kesenangan yang dibolehkan,
semata-mata untuk mentaati perintah Allah dan mengharapkan pahala di
sisi-Nya. Agar orang beriman termasuk mereka yang bertaqwa kepada Allah,
taat kepada semua perintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan dan
segala yang diharamkan-Nya. (Tafsir Ayaatul Ahkaam, oleh Ash Shabuni,
I/192.)
Ketika Allah menyebutkan bahwa Dia mewajibkan puasa atas mereka, maka
Dia memberitahukan bahwa puasa tersebut pada hari-hari tertentu atau
dalam jumlah yang relatif sedikit dan mudah. Di antara kemudahannya
yaitu puasa tersebut pada bulan tertentu, di mana seluruh umat Islam
melakukannya.
Lalu Allah memberi kemudahan lain, seperti disebutkan dalam firman-Nya:
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 184) Karena
biasanya berat, maka Allah memberikan keringanan kepada mereka berdua
untuk tidak berpuasa. Dan agar hamba mendapatkan kemaslahatan puasa,
maka Allah memerintahkan mereka berdua agar menggantinya pada hari-hari
lain. Yakni ketika ia sembuh dari sakit atau tak iagi melakukan
perjalanan, dan sedang dalam keadaan luang. (Lihat kitab Tafsiirul
Lat’nifil Mannaan fi Khulaashati Tafsiiril Qur’an, oleh Ibnu Sa’di, hlm.
56.) Dan firman Allah Ta ‘ala : “Maka barangsiapa di antara kamu ada
yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari
lain.” (Al-Baqarah : 184)
Maksudnya, seseorang boleh tidak berpuasa ketika sedang sakit atau
dalam keadaan bepergian, karena hal itu berat baginya. Maka ia
dibolehkan berbuka dan mengqadha’nya sesuai dengan bilangan hari yang
ditinggalkannya, pada hari-hari lain.
Adapun orang sehat dan mukim (tidak bepergian) tetapi berat (tidak
kuat) menjalankan puasa, maka ia boleh memilih antara berpuasa atau
memberi makan orang miskin. Ia boleh berpuasa, boleh pula berbuka dengan
syarat memberi makan kepada satu orang miskin untuk setiap hari yang
ditinggalkannya. Jika ia memberi makan lebih dari seorang miskin untuk
setiap harinya, tentu akan lebih baik. Dan bila ia berpuasa, maka puasa
lebih utama daripada memberi makanan. Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas
radhiallahu ‘anhum berkata: “Karena itulah Allah berfirman : “Dan
berpuasa lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Tafsir Ibnu Katsir,
1/214)
Firman Allah Ta’ala : “(Beberapa hari yang ditentukan itu adalah)
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu
dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa
di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak
hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya
kamu bersyukur.” (Al-Baqarah: 185).
Allah memberitahukan bahwa bulan yang di dalamnya diwajibkan puasa
bagi mereka itu adalah bulan Ramadhan. Bulan di mana Al-Qur’an –yang
dengannya Allah memuliakan umat Muhammad-diturunkan untuk pertama
kalinya. Allah menjadikan Al-Qur’an sebagai undang-undang serta
peraturan yang mereka pegang teguh dalam kehidupan. Di dalamnya terdapat
cahaya dan petunjuk. Dan itulah jalan kebahagiaan bagi orang yang ingin
menitinya. Di dalamnya terdapat pembeda antara yang hak dengan yang
batil, antara petunjuk dengan kesesatan dan antara yang halal dengan
yang haram.
Allah menekankan puasa pada bulan Ramadhan karena bulan itu adalah
bulan diturunkannya rahmat kepada segenap hamba, Dan Allah tidak
menghendaki kepada segenap hamba-Nya kecuali kemudahan. Karena itu Dia
membolehkan orang sakit dan musafir berbuka puasa pada hari-hari bulan
Ramadhan (Tafsir Ayarul Ahkam oleh Ash Shabuni, I/192), dan
memerintahkan mereka menggantinya, sehingga sempurna bilangan satu
bulan. Selain itu, Dia juga memerintahkan memperbanyak dzikir dan takbir
ketika selesai melaksanakan ibadah puasa, yakni pada saat sempurnanya
bulan Ramadhan. Karena itu Allah berfirman : “Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah
kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas
petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kama bersyukur.” (Al-
Baqarah: 185). Maksudnya, bila Anda telah menunaikan apa yang
diperintahkan Allah, taat kepada-Nya dengan menjalankan hal-hal yang
diwajibkan dan meninggalkan segala yang diharamkan serta menjaga
batasan-batasan (hukum)-Nya, maka hendaklah kamu termasuk orang-orang
yang bersyukur karenanya.)” (Tafsir Ibnu Karsir, 1/218)
Dalam ayat Lain Allah berfirman : “Dan apabila para hamba-Ku bertanya
kepadamu tentang Aku maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon Kepada-Ku
maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku, dan hendaklah
mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
(Al Baqarah:186)
Sebab Turunnya ayat :
Diriwayatkan bahwa seorang Arab badui bertanya : “Wahai Rasulullah,
apakah Tuhan kita dekat sehingga kita berbisik atau jauh sehingga kita
berteriak (memanggil-Nya ketika berdo’a)?” Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam hanya terdiam, sampai Allah menurunkan ayat di atas.’ (Tafsir
Ibnu Katsir; I/219.)
Tafsiran ayat:
Allah menjelaskan bahwa diri-Nya adalah dekat. Ia mengabulkan do’a
orang-orang yang memohon, serta memenuhi kebutuhan orang-orang yang
meminta. Tidak ada tirai pembatas antara diri-Nya dengan salah seorang
hamba-Nya. Karena itu, seyogyanya mereka menghadap hanya kepada-Nya
dalam berdo’a dan merendahkan diri, lurus dan memurnikan ketaatan
pada-Nya semata. (Tafsir Ibnu Katsir, I/218.)
Adapun hikmah penyebutan Allah akan ayat ini yang memotivasi
memperbanyak do’a berangkaian dengan hukum-hukum puasa adalah bimbingan
kepada kesungguhan dalam berdo’a, ketika bilangan puasa telah sempurna,
bahkan setiap kali berbuka.
Anjuran dan Keutamaan Do’a :
Banyak sekali nash-nash yang memotivasi untuk berdo’a, menerangkan
fadhilah (keutamaan)nya dan mendorong agar suka melakukannya. Di
antaranya adalah sebagai berikut :
1. Firman Allah Ta ‘ala : “Dan Tuhanmu berfirman : Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (Ghaafar : 60). Di dalamnya Allah memerintahkan berdo’a dan Dia menjamin akan mengabulkannya.
2. Firman Allah Ta’ala : “Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan
berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas. ” (Al-A’raaf: 55). Maksudnya,
berdo’alah kepada Allah dengan menghinakan diri dan secara rahasia,
penuh khusyu’ dan merendahkan diri. “Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas.” Yakni tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas, baik dalam berdo’a atau lainnya, orang-orang yang
melampaui batas dalam setiap perkara. Termasuk melampaui batas dalam
berdo’a adalah permintaan hamba akan berbagai hal yang tidak sesuai
untuk dirinya atau dengan meninggikan dan mengeraskan suaranya dalam
berdo’a.
Dalam Shahihain, Abu Musa Al-Asy’ari berkata: “Orang-orang
meninggikan suaranya ketika berdo’a, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
“Wahai sekalian manusia, kasihanilah dirimu, sesungguhnya kama tidak
berdo’a kepada Dzat yang tuli, tidak pula ghaib. Sesungguhnya Dzat yang
kama berdo’a pada-Nya itu Maha Mendengar lagi Maha Dekat. “
3. Firman Allah Ta ‘ala : “Atau siapakah yang memperkenankan
(do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’a kepada-Nya, dan
yang menghilangkan kesusahan?” (An Naml: 62). Maksudnya, apakah ada yang
bisa mengabulkan do’a orang yang kesulitan, yang diguncang oleh
berbagai kesempitan, yang sulit mendapatkan apa yang ia minta, sehingga
tak ada jalan lain ia baru keluar dari keadaan yang mengungkunginya,
selain Allah semata? Siapa pula yang menghilangkan keburukan
(malapetaka), kejahatan dan murka, selain Allah semata?
4. Dari An-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhu, dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda : “Do’a adalah ibadah.”
(HR, Abu Daud dan At-Tirmidzi, At-Tirmidzi berkata, hadits hasan
shahih). Dari Ubadah bin Asb-Shamit radhiallahu ‘anhu ia berkata,
sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Tidak
ada seorang muslim yang berdo’a kepada Allah di dunia dengan suatu
permohonan kecuali Dia mengabulkannya, atau menghilangkan dauipadanya
keburukan yang semisalnya, selama ia tidak meminta suatu dosa atau
pemutusan kerabat. ” Maka berkatalah seouang laki-laki dari kaum: “Kalau
begitu, kita memperbanyak (do’a). “
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah memberikan
kebaikan-Nya lebih banyak daripada yang kalian minta” (HR. At-Tirmidzi,
ia berkata, hadits hasan shahih), (Lihat kitab
Riyaadhus Shaalihiin, hlm. 612 dan 622) Lalu Allah Ta’ala berfirman :
“Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
isteri-isterimu, mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah
pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat
menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf
kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah
ditetapkan oleh Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah
puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka
itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka
janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepada manusia, supaya mereka bertaqwa.” (Al-Baqarah:187)
Sebab turunnya ayat :
Imam Al Bukhari meriwayatkan dari Al-Barra’ bin ‘Azib, bahwasanya ia berkata :
“Dahulu, para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, jika
seseorang (dari mereka) berpuasa, dan telah datang (waktu) berbuka,
tetapi ia tidur sebelum berbuka, ia tidak makan pada malam dan siang
harinya hingga sore. Suatu ketika Qais bin Sharmah Al-Anshari dalam
keadaan puasa, sedang pada siang harinya bekerja di kebun kurma. Ketika
datang waktu berbuka, ia mendatangi isterinya seraya berkata padanya:
“Apakah engkau memiliki makanan ?” Ia menjawab: “Tidak, tetapi aku akan
pergi mencarikan untukmu.” Padahal siang harinya ia sibuk bekerja,
karena itu ia tertidur. Kemudian datanglah isterinya. Tatkala ia melihat
suaminya (tertidur) ia berkata: “Celaka kamu.” Ketika sampai tengah
hari, ia menggauli (isterinya). Maka hal itu diberitahukan kepada Nabi
shallallahu alaihi wasallam, sehingga turunlah ayat ini :
“Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
isteri-isterimu. “Maka mereka sangat bersuka cita karenanya, kemudian
turunlah ayat berikut : “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang
putih dari benang hitam, yaitu fajar. (Lihat kitab Ash Shahiihul Musnad
min Asbaabin Nuzuul, hlm. 9.)
Tafsiran ayat :
Allah Ta’ala berfirman untuk memudahkan para hamba-Nya sekaligus
untuk membolehkan mereka bersenang-senang (bersetubuh) dengan isterinya
pada malam-malam bulan Ramadhan, sebagaimana mereka dibolehkan pula
ketika malam hari makan dan minum : “Dihalalkan bagimu pada malam hari
bulan puasa melakukam “rafats” dengan isteri- isterimu. “
Rafats adalah bersetubuh dan hal-hal yang menyebabkan terjadinya.
Dahulu, mereka dilarang melakukan hal tersebut (pada malam hari), tetapi
kemudian Allah membolehkan mereka makan minum dan melampiaskan
kebutuhan biologis, dengan bersenang-senang bersama isteri-isteri
mereka. Hal itu untuk menampakkan anugerah dan rahmat Allah pada mereka.
Allah menyerupakan wanita dengan pakaian yang menutupi badan. Maka ia
adalah penutup bagi laki-laki dan pemberi ketenangan padanya, begitupun
sebaliknya.
Ibnu Abbas berkata: “Maksudnya para isteri itu merupakan ketenangan bagimu dan kamu pun merupakan ketenangan bagi mereka.”
Dan Allah membolehkan menggauli para isteri hingga terbit fajar. Lalu
Dia mengecualikan keumuman dibolehkannya menggauli isteri (malam hari
bulan puasa) pada saat i’tikaf. Karena ia adalah waktu meninggalkan
segala urusan dunia untuk sepenuhnya konsentrasi beribadah. Pada
akhirnya Allah menutup ayat-ayat yang mulia ini dengan memperingatkan
agar mereka tidak melanggar perintah-perintah-NYa dan melakukan hal-hal
yang diharamkan serta berbagai maksiat, yang semua itu merupakan
batasan-batasan-Nya. Hal-hal itu telah Dia jelaskan kepada para
hamba-Nya agar mereka menjauhinya, serta taat berpegang teguh dengan
syari’at Allah sehingga mereka menjadi orang-orang yang
bertaqwa. (Tafsir Ayaatil Ahkaam, oleh Ash-Shabuni, I/93.)
0 Comments