Generasi as-salafush shalih mereka adalah
orang-orang yang mengetahui betapa berharganya bulan yang penuh barakah
ini, mereka melewati bulan tersebut dengan penuh keseriusan dan
bersungguh-sungguh untuk melakukan amal shalih dengan mengharapkan ridha
Allah dan mengharap ganjaran-Nya. Telah tetap bahwasanya mereka dahulu
berdo’a kepada Allah selama 6 bulan agar Allah menyampaikan mereka
kembali kepada Ramadhan kemudian mereka juga berdo’a kepada-Nya selama 6
bulan agar Dia menerima amalan-amalan mereka.
Generasi as-salafush shalih mereka adalah
orang-orang yang mengetahui betapa berharganya bulan yang penuh barakah
ini, mereka melewati bulan tersebut dengan penuh keseriusan dan
bersungguh-sungguh untuk melakukan amal shalih dengan mengharapkan ridha
Allah dan mengharap ganjaran-Nya. Telah tetap bahwasanya mereka dahulu
berdo’a kepada Allah selama 6 bulan agar Allah menyampaikan mereka
kembali kepada Ramadhan kemudian mereka juga berdo’a kepada-Nya selama 6
bulan agar Dia menerima amalan-amalan mereka.
Abdul Aziz bin Abi Daud berkata : “Aku
mendapati mereka bersungguh-sungguh dalam beramal shalih. Ketika mereka
telah melakukannya, mereka pun ditimpa kekhawatiran, apakah amalan
mereka diterima atau tidak.”
Maka kemarilah wahai saudaraku yang
mulia! Kita lihat sebagian keadaan para salaf ketika bulan Ramadhan dan
bagaimana semangat, keinginan yang kuat, dan kesungguhan mereka dalam
beribadah agar kita bisa berupaya meneladaninya, dan agar kita termasuk
orang yang mengerti kedudukan bulan Ramadhan ini sehingga kita pun mau
serius beramal shalih padanya.
Pertama : ‘Ulama Salaf dan Membaca Al-Quran.
Ibnu Rajab bekata: Dalam hadits Fathimah
radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya
beliau mengabarkan kepadanya:
أنّ جبريل عليه السلام كان يعارضه القرآن كل عام مرةً وأنّه عارضه في عام وفاته مرتين
Sesungguhnya Jibril ‘alaihissalam
menyimak Al-Qur’an yang dibacakan Nabi sekali pada setiap tahunnya, dan
pada tahun wafatnya Nabi, Jibril menyimaknya dua kali. (Muttafaqun
‘Alaihi)
Dan dalam hadits Ibnu Abbas:
أنّ المدارسة بينه وبين جبريل كانت ليلاً
Bahwasanya pengkajian terhadap Al-Qur’an antara beliau dengan Jibril terjadi pada malam bulan Ramadhan. (Muttafaqun ‘Alaihi).
Hadits ini menunjukkan disunnahkannya
memperbanyak membaca Al-Quran pada malam bulan Ramadhan, karena waktu
malam terputus segala kesibukan, terkumpul pada malam itu berbagai
harapan, hati dan lisan pada malam bisa berpadau untuk bertaddabur,
sebagaimana Allah Ta’ala berfirman
إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْءاً وَأَقْوَمُ قِيلاً
Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. (Al-Muzammil: 6)
Bulan Ramadhan mempunyai kekhususan tersendiri dengan (diturunkannya) Al-Qur’an, sebagaimana Allah ta’ala berfirman
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak
dan yang bathil). (Al-Baqarah: 185) Latha’iful Ma’arif hal. 315.
Oleh kerena itulah para ‘ulama salaf
rahimahumullah sangat bersemangat untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an
pada bulan Ramadhan, sebagaimana yang dijelaskan dalam Siyar A’lamin
Nubala’, di antaranya:
o Dahulu Al-Aswad bin Yazid
mengkhatamkan Al-Qur’an pada bulan Ramadhan setiap dua malam, beliau
tidur antara Magrib dan Isya’. Sedangkan pada selain bulan Ramadhan
beliau mengkhatamkan Al Qur’an selama 6 hari.
o Al-Imam Malik bin Anas jika
memasuki bulan Ramadhan beliau meninggalkan pelajaran hadits dan majelis
ahlul ilmi, dan beliau mengkonsentrasikan kepada membaca Al Qur’an dari
mushaf.
o Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri jika
datang bulan Ramadhan beliau meninggalkan manusia dan mengkonsentrasikan
diri untuk membaca Al Qur’an.
o Said bin Zubair mangkhatamkan Al-Qur’an pada setiap 2 malam.
o Zabid Al-Yami jika datang bulan Ramadhan beliau menghadirkan mushaf dan murid-muridnya berkumpul di sekitarnya.
o Al-Walid bin Abdil Malik
mengkhatamkan Al-Qur’an setiap 3 malam sekali, dan mengkhatamkannya
sebanyak 17 kali selama bulan Ramadhan.
o Abu ‘Awanah berkata : Aku menyaksikan Qatadah mempelajari Al-Qur’an pada bulan Ramadhan.
o Qatadah mengkhatamkan Al-Qur’an
pada hari-hari biasa selama 7 hari, jika datang bulan Ramadhan beliau
mengkhatamkannya selama 3 hari, dan pada 10 terakhir Ramadhan beliau
mengkhatamkannya pada setiap malam.
o Rabi’ bin Sulaiman berkata:
Dahulu Al-Imam Syafi’i mengkhatamkan Al-Qur’an pada bulan Ramadhan
sebanyak 60 kali, dan pada setiap bulannya (selain Ramadhan) sebanyak 30
kali.
o Waki’ bin Al-Jarrah membaca
Al-Quran pada malam bulan Ramadhan serta mengkhatamkannya ketika itu
juga dan ditambah sepertiga dari Al Qur’an, shalat 12 rakaat pada waktu
dhuha, dan shalat sunnah sejak ba’da zhuhur hingga ashar.
o Al-Imam Muhammad bin Ismail
Al-Bukhari mengkhatamkan Al Qur’an pada siang bulan Ramadhan setiap
harinya dan setelah melakukan shalat tarawih beliau mengkhatamkannya
setiap 3 malam sekali.
o Al-Qasim bin ‘Ali berkata
menceritakan ayahnya Ibnu ‘Asakir (pengarang kitab Tarikh Dimasyqi):
Beliau adalah seorang yang sangat rajin melakukan shalat berjama’ah dan
rajin membaca Al-Qur’an, beliau mengkhatamkannya setiap Jum’at, dan
mengkhatamkannya setiap hari pada bulan Ramadhan serta beri’tikaf di
menara timur.
Faidah
Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata: Bahwasanya
larangan mengkhatamkan Al-Quran kurang dari tiga hari itu adalah
apabila dilakukan secara terus menerus. Adapun pada waktu-waktu yang
terdapat keutamaan padanya seperti bulan Ramadhan terutama pada
malam-malam yang dicari/diburu padanya lailatul qadr atau pada
tempat-tempat yang memiliki keutamaan seperti Makkah bagi siapa saja
yang memasukinya selain penduduk negeri itu, maka disukainya untuk
memperbanyak membaca Al-Qur’an, dalam rangka memanfaatkan (keutamaan)
waktu dan tempat tersebut. Ini adalah pendapat Ahmad, Ishaq, dan
selainnya dari kalangan ulama’ . (Latha’iful Ma’arif).
Kedua : ‘Ulama Salaf dan shalat malam (tarawih).
Shalat tarawih ini merupakan kebiasaan
orang-orang shalih, perniagaan kaum mu’minin, dan amalannya orang-orang
yang meraih kemenangan. Pada waktu malam orang-orang yang beriman
menyendiri dengan Rabbnya, menghadap kepada Penciptanya, mengadukan
keadaan mereka seraya memohon kepada-Nya keutamaan-Nya. Jiwa-jiwa mereka
berada di antara kedua tangan Pencitanya, beri’tikaf untuk bermunajat
kepada Penciptanya. Mereka berupaya mendapat percikan cahaya dari ibadah
tersebut, berharap dan bersimpuh diri atas adanya berbagai pemberian
dan karunia (dari Rabbnya).
o Al-Hasan Al-Bashri berkata : Aku
tidak mendapati suatu ibadah pun yang lebih besar nilainya daripada
shalat pada pertengahan malam.
o Abu ‘Utsman An-Nahdi berkata:
Aku bertamu kepada Abu Hurairah selama 7 hari, maka beliau, istri dan
pembantunya membagi malam menjadi 3 bagian, yang satu shalat ini
kemudian membangunkan yang lainnya.
o Dahulu Syaddad bin Aus jika
beranjak untuk beristirahat di ranjangnya, kondisinya bagaikan biji yang
berada di atas penggorengan (yakni tidak tenang) kemudian berdoa : Ya
Allah! Sesungguhnya Jahannam (terus mengancam)! Jangan Engkau biarkan
aku tidur. Maka beliau pun bangun dan langsung menuju tempat shalatnya.
o Dahulu Thawus melompat dari atas
tempat tidurnya kemudian langsung bersuci dan menghadap qiblat
(melakukan shalat) hingga datang waktu shubuh dan berkata : Mengingat
Jahannam akan menghentikan tidurnya para ahli ibadah.
o Dari As-Saib bin Yazid dia
berkata: Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu memerintahkan Ubay bin
Ka’ab dan Tamim Ad-Dari radhiyallahu ‘anhuma mengimami manusia pada
malam Ramadhan (dalam shalat tarawih). Kemudian sang imam membaca 200
ayat, hingga kami bersandar kepada tongkat-tongkat karena lamanya
berdiri, tidaklah kami selesai dari shalat kecuali telah mendekati waktu
shubuh. (HR. Al-Baihaqi).
o Dari Malik bin ‘Abdillah bin Abi
Bakr, dia bekata : Aku mendengar ayahku berkata: Dahulu kami selesai
dari shalat malam pada bulan Ramadhan, kami pun bersegera mempersiapkan
makan karena takut datangnya waktu shubuh. (HR. Malik dalam Al
Muwaththa’).
o Dari Dawud bin Al-Hushain, dari
‘Abdurrahman bin Hurmuz, dia berkata: Para qari’ (para imam tarawih)
dahulu membaca surat Al-Baqarah dalam delapan raka’at. Maka ketika para
qari’ (para imam tarawih) membacanya dalam 12 raka’at, orang-orang
melihat bahwa para imam tersebut telah meringankan bacaan untuk mereka.
(HR. Al Baihaqi)
o Nafi’ berkata: Dahulu Ibnu ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma tinggal di rumahnya pada bulan Ramadhan. Ketika
orang-orang telah pergi dari masjid, beliau mengambil sebuah wadah yang
berisi air kemudian keluar menuju masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, lalu beliau tidak keluar dari masjid sampai tiba waktu shalat
shubuh di masjid tersebut. (HR. Al Baihaqi)
o Dari Nafi’ bin ‘Umar bin
Abdillah, dia berkata: aku mendengar Ibnu Abi Mulaikah berkata: Dahulu
aku pernah mengimami manusia pada bulan Ramadhan, aku membaca pada suatu
raka’at surat Alhamdulillahi Fathir (surat Fathir) dan yang semisalnya.
Tidak sampai kepadaku bahwa ada seorang pun yang merasa keberatan
dengannya. (HR. Ibnu Abi Syaibah)
o Dari ‘Imran bin Hudair, dia
berkata: Dahulu Abu Mijlaz tinggal di sebuah perkampungan, pada bulan
Ramadhan, beliau mengkhatamkan Al-Qur’an setiap tujuh hari. (HR. Ibnu
Abi Syaibah)
o Dari Abdush Shamad, dia berkata:
Abul Asyhab telah memberitakan kepadaku, dia berkata: Dahulu Abu Raja’
mengkhatamkan Al Qur’an ketika mengimami kami pada sholat malam bulan
Ramadhan setiap sepuluh hari.
Sebab-sebab bathiniyah untuk seseorang bisa bangun malam ada empat perkara
Pertama: Selamatnya hati dari hasad
terhadap kaum muslimin, selamatnya hati dari kebid’ahan dan sesuatu yang
tidak bermanfaat dari perkara duniawi.
Kedua: Senantiasa hatinya terbiasa takut disertai dengan pendek angan-angan.
Ketiga: Mengetahui keutamaan shalat malam.
Keempat: Ini adalah faktor pendorong yang
paling mulia, yaitu cinta karena Allah dan kuatnya iman bahwasanya
dalam shalatnya tersebut tidaklah dia berucap dengan satu huruf pun
melainkan dia sedang bermunajat kepada Rabbnya.
Ketiga : ‘Ulama Salaf dan sifat pemurah dan dermawan ketika menyambut bulan Ramadhan
1. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أجود الناس بالخير، وكان أجود ما يكون في شهر رمضان، إنّ جبريل عليه السلام كان يلقاه في كل سنة في رمضان حتى ينسلخ فيعرض عليه رسول الله صلى الله عليه وسلم القرآن، فإذا لقيه جبريل كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أجود بالخير من الريح المرسلة.
Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah orang yang paling pemurah dalam memberikan kebaikan, dan sifat
pemurah beliau yang paling besar adalah ketika Ramadhan. Sesungguhnya
Jibril biasa berjumpa dengan beliau, dan Jibril ‘alaihis salam
senantiasa menjumpai beliau setiap malam bulan Ramadhan sampai selesai
(habis bulan Ramadhan), Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membacakan
padanya Al Qur’an. Ketika berjumpa dengan Jibril’ alaihissalam, beliau
sangat dermawan kepada kebaikan daripada angin yang berhembus.
(Muttafaqun ‘Alaihi)
Al-Muhallab berkata: “Dalam hadits
tersebut menunjukkan barakahnya beramal kebajikan dan sebagian amalan
kebajikan itu akan membuka dan membantu untuk dikerjakannya bentuk
amalan kebajikan yang lain. Tidakkah kamu tahu bahwa barakahnya puasa,
perjumpaan (Nabi) dengan Jibril, dan dibacakannya Al-Qur’an kepadanya
akan menambah kesungguhan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam
beribadah dan bershadaqah sampai-sampai digambarkan lebih cepat daripada
angin yang berhembus.”
Az-Zain bin Al-Munayyir berkata: Yakni
semua bentuk kebaikan beliau, baik tatkala dalam kondisi fakir dan butuh
maupun dalam kondisi kaya dan berkecukupan merata lebih daripada
meratanya air hujan menimpa bumi yang dihembuskan angin.
Ibnu Rajab berkata : Asy-Syafi’i
radhiyallahu ‘anhu berkata: Yang paling dicintai bagi seseorang adalah
semakin bertambah kedermawanannya pada bulan Ramadhan dalam rangka
meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan karena kebutuhan
manusia agar tercukupi keperluan-keperluan mereka, serta agar mereka
tersibukkan dengan ibadah puasa dan shalat dari pekerjaan mereka.”
2- Adalah Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma
berpuasa dan tidak berbuka kecuali bersama orang-orang miskin, namun
jika keluarganya menghalangi mereka darinya, maka ia tidak makan pada
malam itu. Jika ada seorang peminta datang kepada beliau dalam keadaan
beliau sedang makan, beliau mengambil bagiannya dan memberikan kepada si
peminta tersebut, beliau pun kembali dan keluarganya telah memakan apa
yang tersisa di mangkuk tempat makanan. Maka beliau berpuasa pada pagi
harinya dan tidak memakan sesuatu apapun.
3- Yunus bin Yazid berkata: Dahulu
Al-Imam Ibnu Syihab rahimahullah jika memasuki bulan Ramadhan, beliau
isi bulan tersebut dengan membaca Al-Quran dan memberi makan.
4- Adalah Hammad bin Abi Salamah
rahimahullah memberi jamuan berbuka pada bulan Ramadhan kepada 500 orang
dan setelah ‘idul fithri beliau memberi masing-masing mereka dengan 500
dirham.
Keempat : Sedikit makan
1. Ibrahim bin Abi Ayyub berkata : Dahulu Muhammad bin ‘Amr Al-Ghazy pada bulan Ramadhan makan hanya dua kali.
2. Abul ‘Abbas Hasyim bin Al-Qasim
berkata : Dahulu aku pernah di sisi Al-Muhtadi (salah satu khalifah Bani
‘Abbas) pada sore hari di bulan Ramadhan, kemudian aku berdiri untuk
pergi, maka dia (Al Muhtadi) berkata: duduklah. Maka aku pun duduk,
kemudian dia mengimami shalat. Setelah itu dia meminta untuk dihidangkan
makanan, maka dihidangkanlah kepada dia satu nampan yang di dalamnya
terdapat roti dan tempat yang yang berisi garam, minyak, dan cuka.
Kemudian dia mengundangku untuk makan, maka aku pun makan layaknya orang
yang menunggu hidangan makanan yang lain. Dia berkata: bukankah besok
engkau masih berpuasa? Aku katakan: tentu. Dia berkata: makanlah dan
cukupkan makanmu karena tidak ada makanan yang lain selain apa yang kamu
lihat ini.
Kelima : Menjaga lisan, sedikit bicara, menjaga diri dari dusta
1. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجةٌ في أن يدع طعامه وشرابه
Barangsiapa yang tidak meninggalkan
perkataan yang haram dan melakukan perbuatan haram, maka Allah tidak
butuh kepada jerih payahnya meninggalkan makan dan minumnya. (HR.
Al-Bukhari)
Al-Muhallab berkata: Dalam hadits
tersebut terdapat dalil bahwa hukum puasa itu adalah menahan diri dari
perbuatan keji dan perkataan dusta sebagaimana dia menahan diri dari
makan dan minum. Barangsiapa yang tidak menahan dirinya dari
perkara-perkara tersebut, maka sungguh hal itu akan mengurangi nilai
puasanya, menyebabkan murka Allah dan tidak diterimanya puasa dia.
2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إذا أصبح أحدكم يوماً صائماً فلا يرفث ولا يجهل فإن امرؤٌ شاتمه أو قاتله فليقل: إني صائمٌ إني صائمٌ
Jika pada suatu hari salah seorang dari
kalian berpuasa, maka janganlah berbuat keji ataupun bertindak jahil,
jika ada seseorang yang mencelanya atau memusuhinya, maka katakanlah:
aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa. (HR. Muslim)
Al-Maziri berkata -menjelaskan kalimat
‘aku sedang berpuasa’-: mungkin juga yang dimaksud dengannya adalah dia
mengajak bicara kepada dirinya sendiri dalam rangka memperingatkan dari
perbuatan mencela ataupun bermusuhan.
3. ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata : Bukanlah
puasa itu sebatas menahan diri dari makan dan minum saja, akan tetapi
puasa itu menahan diri dari perkataan dusta, perbuatan bathil, sia-sia,
dan sumpah yang tidak ada gunanya. (HR. Ibnu Abi Syaibah)
4. Dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata :
إنّ الصيام ليس من الطعام والشراب ولكن من الكذب والباطل واللغو
Sesungguhnya puasa itu tidaklah sebatas
menahan diri dari makan dan minum saja, akan tetapi puasa itu menahan
diri dari perkataan dusta, perbuatan batil dan sia-sia. (HR. Ibnu Abi
Syaibah)
5. Dari Thalq bin Qais, dia berkata: Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu berkata :
إذا صمت فتحفظ ما استطعت
Jika kamu berpuasa, maka jagalah dirimu semaksimal kemampuanmu.
Adalah Thalq ketika berpuasa, dia masuk
rumahnya dan tidak pernah keluar kecuali untuk mengerjakan shalat. (HR.
Ibnu Abi Syaibah)
6. Dari Jabir bin Abdillah
radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Jika kamu berpuasa, maka jagalah
pendengaran, penglihatan, dan lisanmu dari berdusta dan jagalah dirimu
dari perbuatan dosa, jangan menyakiti pembantu, wajib atas kamu untuk
bersikap tenang, (terlebih) pada saat kamu berpuasa, jangan kamu jadikan
hari berbukamu (tidak puasa) dengan hari berpuasamu sama. (HR. Ibnu Abi
Syaibah dalam Kitab Ash-Shiyam Bab ‘Perkara yang diperintahkan kepada
orang yang berpuasa berupa sedikit bicara dan menjaga diri dari
berdusta’, II/422)
7. Dan dari ‘Atha’, dia berkata:
Aku mendengar Abu Hurairah berkata: Jika kamu berpuasa, maka janganlah
bertindak jahil, dan jangan mencaci maki. Jika kamu diperlakukan jahil,
maka katakanlah: aku sedang berpuasa. (HR. Abdurrazzaq dalam Al
Mushannaf)
8. Dan dari Mujahid, dia berkata:
ada dua perangai yang barangsiapa menjaga diri darinya, puasanya akan
selamat, yakni (1) ghibah, dan (2) berdusta. (HR. Ibnu Abi Syaibah)
9. Dan dari Abul ‘Aliyah, dia
berkata: Puasa itu akan bernilai ibadah selama pelakunya tidak berbuat
ghibah. (HR. Ibnu Abi Syaibah)
Keadaan Salaf terkait dengan waktu
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata :
Wahai anak Adam! Sesungguhnya kamu itu adalah seperti hari-hari, jika
satu hari telah pergi, maka telah hilanglah sebagian dari dirimu.
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah juga
berkata : Wahai anak Adam! Waktu siangmu adalah tamumu, maka berbuat
baiklah kepadanya, karena sesungguhnya jika kamu berbuat baik kepadanya,
dia akan pergi dengan memujimu, dan jika kamu bersikap jelek padanya,
maka dia akan pergi dalam keadaan mencelamu, demikian juga waktu
malammu.
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah juga
berkata : Dunia itu ada tiga hari: (1) Adapun kemarin, maka dia telah
pergi dengan amalan-amalan yang kamu lakukan padanya, (2) adapun besok,
mungkin saja kamu tidak akan menjumpainya lagi, (3) dan adapun hari ini,
maka ini untukmu, maka beramallah pada saat itu juga.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
Tidaklah aku menyesal terhadap sesuatu sebagaimana menyesalku ketika
pada hari yang matahari telah tenggelam sementara umurku berkurang
padahal amalanku tidak bertambah pada hari itu.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
Menyia-nyiakan waktu itu lebih buruk daripada kematian, karena
menyia-nyiakan waktu itu memutuskan kamu dari Allah dan negeri akhirat,
sementara kematian itu memutuskan kamu dari dunia dan penghuninya.
As-Suri bin Al-Muflis rahimahullah
berkata: Jika kamu merasa sedih karena hartamu berkurang, maka
menangislah karena berkurangnya umurmu.
Penutup
Kita memohon kepada Allah agar
menyampaikan kita kapada Ramadhan, dan agar Allah menerima amalan-amaln
kita, puasa kita, shalat malam kita, dan mudah-mudahan Allah membebaskan
kita dari An Nar. Allahumma Amin
0 Comments